Sejarah Masuknya Ajaran Yahudi dan Kristen ke dalam Syiah
Membicarakan sejarah Syi’ah, maka litelatur-litelatur klasik para
ulama’ ternyata tidak melepaskan dari fenomena hubungannya dengan Yahudi
dan Kristen. Apalagi tokoh Abdullah bin Saba’, yang disebut sebagai
pencetus pemikiran Syi’ah, adalah seorang Yahudi Yaman. Akan tetapi,
pematangan teologi Syi’ah terbentuk pasca masa khalifah Ali bin Abi
Thalib. Terutama pada masa Abbasiyah dan Umayyah.
Interaksi
intens antara kaum Yahudi dan Kristen dengan umat Islam di abad masa
kekhalifahan Abbasiyah dan Bani Umayyah, ternyata berpengaruh terhadap
internalisasi pemikiran. Dr. Fath Muhammad al-Zaghi mengatakan, selama
dua masa itu, banyak terjadi proses internalisasi pemikiran Yahudi dan
Kristen ke dalam pemeluk Syi’ah. Memang, pada 2 era kekhalifahan itu,
mereka mendapatkan keluasan untuk melangsungkan kehidupan.
Kamil Sa’fan dalam al-Yahud Tarikhan wa ‘Aqidatan melaporkan, kaum
Yahudi mendapatkan kemudahan hidup pada masa kekhalifan Abbasiyah.
Tercatat, mereka mendirikan sepuluh sekolah teologi dan 23 tempat Ibadah
di Baghdad. Pada masa Umayyah, bahkan ada orang Kristen yang menduduki
posisi penting di pemerintahan. Disamping itu, Khalifah memberi
kesempatan berdialog dengan kaum muslimin.
Di era pemerintahan
Abbasiyyah, ada seorang Yahudi bernama Abdullah bin Ma’mun berpura-pura
menjadi muslim. Ia mendakwahkan untuk bersikap lembut kepada Ahlu
al-Bait Nabi SAW agar mudah diterima Syi’ah.
Kitab Kasyfu
Asrari al-Bathiniyyah wa Akhbaru al-Qaramithah merekam sepak terjangnya.
Ia membuat fitnah dengan memasukkan metode ta’wil simbolis (ta’wil
bathiniyyah) – yaitu metode ta’wil yang hampir sama dengan metode
hermeneutika – ke dalam sekte Syi’ah Isma’iliyyah. Konsep ta’wil inilah
yang dipraktikkan Syi’ah Isma’iliyyah (Syi’ah Bathiniyyah) dan sekte
Syi’ah lainnya.
Jika dirujuk ke belakang, konsep ta’wil
simbolis sesungguhnya adalah buah dari ajaran Kabbalah Yahudi. Menurut
kelompok Kabbalah, di samping makna literal, teks kitab Taurat mempunyai
makna batin yang hanya diketahui oleh para salikin (peniti jalan
batin). Hermeneutika Baruch Spinoza (1632-1677), filosof dan teolog
Yahudi penggagas metode kritik Bibel, termasuk banyak dipengaruhi oleh
ajaran Kabbalah dalam hal metode ‘tafsir’ ini.
Pada
kenyataanya, di masa pemerintahan Abbasiyyah, kaum Kabbalis sudah
berinteraksi dengan pengikut Syi’ah. Infiltrasi pemikiran Kabbalis ke
dalam pemikir-pemikir muslim secara tidak langsung melalui sekte Yahudi
yang bernama al-‘Isawiyyah pada masa Khalifah al-Mansur.
Dr.
Ali Syami al-Nasyyar mengungkap bahwa para peneliti mengatakan, doktrin
utama Syi’ah Isma’iliyyah berasal dari sekte Yahudi al-‘Isawiyyah ini
(Nasy atu al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam juz I, hal. 88). Sekte
al-‘Isawiyyah meyakini pendirinya bernama Abu Isa Ishaq bin Ya’qub
adalah seorang nabi al-Masih yang ditunggu-tunggu. Mereka juga
memasukkan konsep penafian sifat-sifat wujudiyyah Tuhan, dan teori hulul
kedalam pemikiran Isma’iliyyah.
Al-Nasysyar mengatakan: “Sekte al-‘Isawiyyah ini berperan besar dalam mendirikan sekte Syi’ah Bathiniyyah
(Isma’ilyyah). Ada korelasi antara sebagaian sekte-sekte Yahudi dengan
sekte Bathiniyyah ini melalui ajaran Kabbalah Yahudi. Sungguh saya
melihat Kabbalah Yahudi berpengaruh besar terhadap akidah-akidah Syi’ah
Ghulat”. Dan ternyata, ajaran-ajaran tersebut ternyata juga diadopsi
oleh sekte Syi’ah lainnya termasuk Syi’ah Istna ‘Asyariyyah.
Sedangkan infiltrasi Kristen banyak terjadi pada masa Umayyah.
Orang-orang Kristen pada masa Bani Umayyah sering melakukan diskusi,
dialog dan perdebatan dengan orang-orang Islam. Bahkan, toleransi
Kekhalifahan Bani Umayyah terhadap kaum Kristen, dimanfaatkan Kristen
untuk menarik simpati kaum muslim dengan melakukan kerja kerja sama.
Pada kondisi ini, menurut catatan Dr. Fath Muhammad al-Zaghbiy, ajaran
Kristen terinternalisasi ke dalam doktrin Syi’ah.
Pada tahun
400 H seorang ulama’ Syi’ah di Baghdad dalam khutbah jum’at secara terus
terang mengakui ada kemiripan Syi’ah dengan Kristen, bahwa Imam Ali bin
Abi Thalib bisa menghidupkan mayat manusia, menceritakan tentang pemuda
Kahfi, sebagaimana Nabi Isa juga melakukannya (al-Hadlarah
al-Islamiyyah fi Qarn 4 Jilid I hal. 125).
Memang menurut Alqamah
bin Qais, perumpamaan Ali bin Abi Thalib seperti Nabi Isa bin Maryam.
Bahkan doktrin ghuluw ini telah dikumandangkan oleh Abdullah bin Saba’,
seorang Yahudi Yaman yang disebut pencetus lahirnya paham Syi’ah. Abdul
Qahir al-Baghdadi mencatat, bahwa Abdullah bin Saba’ pernah berkata:
“Sesungguhnya Ali telah naik ke langit, sebagaiman Nabi Isa naik ke
sana”(al-Farqu bayna al-Firaq, hal. 143).
Ritual-ritual Syi’ah juga
disinyalir bersumber dari ajaran Kristen. Seperti diakui oleh Vali Nasr,
putra Seyyed Hossein Nasr, ritual Asyura memperingati kematian Husein
cucu Nabi, Imam Syi’ah ketiga, bertumpu pada duka cita (Azadari) yang
hampir sama dengan ritual di dalam ajaran Katolik Lenten. Katolik Lenten
melakukan parade penderitaan Yesus pada hari Minggu Suci (Holy Week)
pada empat puluh hari sebelum Paskah.
Bahkan praktik menyakiti
diri sendiri pada peringatan duka Asyura dengan menumpahkan darah
sendiri melalui sayatan kecil di kepala menurut Vali Nasr menyerupai
ritual penyesalan (Panitentes) yang dilakukan di lingkungan Katolik di
Iberia. Apalagi ritual menyakiti diri pada Asyura diyakini untuk
mempertebal keimanan kaum Syi’ah dan merupakan kesempatan pertobatan
kolektif atas dosa-dosa. Ini berarti Syi’ah menjadikan Hussein sebagai
penebus dosa, sebagaimana Yesus yang disalib demi menebus dosa kaum
Kristiani.
Walhasil, ternyata infiltrasi pandangan hidup Barat
Kristen dan Yahudi tidak hanya masuk ke dalam pemikiran muslim liberal,
akan tetapi telah lama merasuk ke dalam sekte Syi’ah. Namun, untuk
kepentingan dakwah, Syi’ah tidak serta merta mengetengahkan doktrinnya
secara lugas dan terang. Ada doktrin taqiyyah (menyembunyikan identitas
pemikiran) untuk keselamatan akidahnya. Adagiumnya seperti tersebut
dalam kitab Syi’ah, Ushul Kafi Juz II hal. 217; “La dina liman la
taqiyya lahu”.Wallahu a’lam bil showab.
Membicarakan sejarah Syi’ah, maka litelatur-litelatur klasik para ulama’ ternyata tidak melepaskan dari fenomena hubungannya dengan Yahudi dan Kristen. Apalagi tokoh Abdullah bin Saba’, yang disebut sebagai pencetus pemikiran Syi’ah, adalah seorang Yahudi Yaman. Akan tetapi, pematangan teologi Syi’ah terbentuk pasca masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Terutama pada masa Abbasiyah dan Umayyah.
Interaksi intens antara kaum Yahudi dan Kristen dengan umat Islam di abad masa kekhalifahan Abbasiyah dan Bani Umayyah, ternyata berpengaruh terhadap internalisasi pemikiran. Dr. Fath Muhammad al-Zaghi mengatakan, selama dua masa itu, banyak terjadi proses internalisasi pemikiran Yahudi dan Kristen ke dalam pemeluk Syi’ah. Memang, pada 2 era kekhalifahan itu, mereka mendapatkan keluasan untuk melangsungkan kehidupan.
Kamil Sa’fan dalam al-Yahud Tarikhan wa ‘Aqidatan melaporkan, kaum Yahudi mendapatkan kemudahan hidup pada masa kekhalifan Abbasiyah. Tercatat, mereka mendirikan sepuluh sekolah teologi dan 23 tempat Ibadah di Baghdad. Pada masa Umayyah, bahkan ada orang Kristen yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Disamping itu, Khalifah memberi kesempatan berdialog dengan kaum muslimin.
Di era pemerintahan Abbasiyyah, ada seorang Yahudi bernama Abdullah bin Ma’mun berpura-pura menjadi muslim. Ia mendakwahkan untuk bersikap lembut kepada Ahlu al-Bait Nabi SAW agar mudah diterima Syi’ah.
Kitab Kasyfu Asrari al-Bathiniyyah wa Akhbaru al-Qaramithah merekam sepak terjangnya. Ia membuat fitnah dengan memasukkan metode ta’wil simbolis (ta’wil bathiniyyah) – yaitu metode ta’wil yang hampir sama dengan metode hermeneutika – ke dalam sekte Syi’ah Isma’iliyyah. Konsep ta’wil inilah yang dipraktikkan Syi’ah Isma’iliyyah (Syi’ah Bathiniyyah) dan sekte Syi’ah lainnya.
Jika dirujuk ke belakang, konsep ta’wil simbolis sesungguhnya adalah buah dari ajaran Kabbalah Yahudi. Menurut kelompok Kabbalah, di samping makna literal, teks kitab Taurat mempunyai makna batin yang hanya diketahui oleh para salikin (peniti jalan batin). Hermeneutika Baruch Spinoza (1632-1677), filosof dan teolog Yahudi penggagas metode kritik Bibel, termasuk banyak dipengaruhi oleh ajaran Kabbalah dalam hal metode ‘tafsir’ ini.
Pada kenyataanya, di masa pemerintahan Abbasiyyah, kaum Kabbalis sudah berinteraksi dengan pengikut Syi’ah. Infiltrasi pemikiran Kabbalis ke dalam pemikir-pemikir muslim secara tidak langsung melalui sekte Yahudi yang bernama al-‘Isawiyyah pada masa Khalifah al-Mansur.
Dr. Ali Syami al-Nasyyar mengungkap bahwa para peneliti mengatakan, doktrin utama Syi’ah Isma’iliyyah berasal dari sekte Yahudi al-‘Isawiyyah ini (Nasy atu al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam juz I, hal. 88). Sekte al-‘Isawiyyah meyakini pendirinya bernama Abu Isa Ishaq bin Ya’qub adalah seorang nabi al-Masih yang ditunggu-tunggu. Mereka juga memasukkan konsep penafian sifat-sifat wujudiyyah Tuhan, dan teori hulul kedalam pemikiran Isma’iliyyah.
Al-Nasysyar mengatakan: “Sekte al-‘Isawiyyah ini berperan besar dalam mendirikan sekte Syi’ah Bathiniyyah
(Isma’ilyyah). Ada korelasi antara sebagaian sekte-sekte Yahudi dengan sekte Bathiniyyah ini melalui ajaran Kabbalah Yahudi. Sungguh saya melihat Kabbalah Yahudi berpengaruh besar terhadap akidah-akidah Syi’ah Ghulat”. Dan ternyata, ajaran-ajaran tersebut ternyata juga diadopsi oleh sekte Syi’ah lainnya termasuk Syi’ah Istna ‘Asyariyyah.
Sedangkan infiltrasi Kristen banyak terjadi pada masa Umayyah. Orang-orang Kristen pada masa Bani Umayyah sering melakukan diskusi, dialog dan perdebatan dengan orang-orang Islam. Bahkan, toleransi Kekhalifahan Bani Umayyah terhadap kaum Kristen, dimanfaatkan Kristen untuk menarik simpati kaum muslim dengan melakukan kerja kerja sama. Pada kondisi ini, menurut catatan Dr. Fath Muhammad al-Zaghbiy, ajaran Kristen terinternalisasi ke dalam doktrin Syi’ah.
Pada tahun 400 H seorang ulama’ Syi’ah di Baghdad dalam khutbah jum’at secara terus terang mengakui ada kemiripan Syi’ah dengan Kristen, bahwa Imam Ali bin Abi Thalib bisa menghidupkan mayat manusia, menceritakan tentang pemuda Kahfi, sebagaimana Nabi Isa juga melakukannya (al-Hadlarah al-Islamiyyah fi Qarn 4 Jilid I hal. 125).
Memang menurut Alqamah bin Qais, perumpamaan Ali bin Abi Thalib seperti Nabi Isa bin Maryam. Bahkan doktrin ghuluw ini telah dikumandangkan oleh Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi Yaman yang disebut pencetus lahirnya paham Syi’ah. Abdul Qahir al-Baghdadi mencatat, bahwa Abdullah bin Saba’ pernah berkata: “Sesungguhnya Ali telah naik ke langit, sebagaiman Nabi Isa naik ke sana”(al-Farqu bayna al-Firaq, hal. 143).
Ritual-ritual Syi’ah juga disinyalir bersumber dari ajaran Kristen. Seperti diakui oleh Vali Nasr, putra Seyyed Hossein Nasr, ritual Asyura memperingati kematian Husein cucu Nabi, Imam Syi’ah ketiga, bertumpu pada duka cita (Azadari) yang hampir sama dengan ritual di dalam ajaran Katolik Lenten. Katolik Lenten melakukan parade penderitaan Yesus pada hari Minggu Suci (Holy Week) pada empat puluh hari sebelum Paskah.
Bahkan praktik menyakiti diri sendiri pada peringatan duka Asyura dengan menumpahkan darah sendiri melalui sayatan kecil di kepala menurut Vali Nasr menyerupai ritual penyesalan (Panitentes) yang dilakukan di lingkungan Katolik di Iberia. Apalagi ritual menyakiti diri pada Asyura diyakini untuk mempertebal keimanan kaum Syi’ah dan merupakan kesempatan pertobatan kolektif atas dosa-dosa. Ini berarti Syi’ah menjadikan Hussein sebagai penebus dosa, sebagaimana Yesus yang disalib demi menebus dosa kaum Kristiani.
Walhasil, ternyata infiltrasi pandangan hidup Barat Kristen dan Yahudi tidak hanya masuk ke dalam pemikiran muslim liberal, akan tetapi telah lama merasuk ke dalam sekte Syi’ah. Namun, untuk kepentingan dakwah, Syi’ah tidak serta merta mengetengahkan doktrinnya secara lugas dan terang. Ada doktrin taqiyyah (menyembunyikan identitas pemikiran) untuk keselamatan akidahnya. Adagiumnya seperti tersebut dalam kitab Syi’ah, Ushul Kafi Juz II hal. 217; “La dina liman la taqiyya lahu”.Wallahu a’lam bil showab.
No comments:
Post a Comment